3.29.2005

Dahsyatnya Sakaratul Maut, Siapkah kita untuk Menghadapinya ?

Renungan

"Kalau sekiranya kamu dapat melihat malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata, "Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar." (niscaya kamu akan merasa sangat ngeri) (QS. Al-Anfal {8} : 50).

"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata), "Keluarkanlah nyawamu !" Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Alloh (perkataan) yang tidak benar dan kerena kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya". (Qs. Al- An'am : 93).

"Sakitnya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali sakitnya dipukul pedang". (H.R. Ibnu Abu Dunya).

Cara Malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan, bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada Alloh, maka Malaikat Izrail mencabut nyawa secara kasar. Sebaliknya, bila terhadap orang yang soleh, cara mencabutnya dengan lemah lembut dan dengan hati-hati. Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa dengan raga tetap teramat menyakitkan.
Di dalam kisah Nabi Idris a.s, beliau adalah seorang ahli ibadah, kuat mengerjakan sholat sampai puluhan raka'at dalam sehari semalam dan selalu berzikir di dalam kesibukannya sehari-hari. Catatan amal Nabi Idris a.s yang sedemikian banyak, setiap malam naik ke langit. Hal itulah yang sangat menarik perhatian Malaikat Maut, Izrail. Maka bermohonlah ia kepada Alloh Swt agar di perkenankan mengunjungi Nabi Idris a.s. di dunia. Alloh Swt, mengabulkan permohonan Malaikat Izrail, maka turunlah ia ke dunia dengan menjelma sebagai seorang lelaki tampan, dan bertamu kerumah Nabi Idris.

"Assalamu'alaikum, yaa Nabi Alloh". Salam Malaikat Izrail,
"Wa'alaikum salam wa rahmatulloh". Jawab Nabi Idris a.s.

Beliau sama sekali tidak mengetahui, bahwa lelaki yang bertamu ke rumahnya itu adalah Malaikat Izrail.
Seperti tamu yang lain, Nabi Idris a.s. melayani Malaikat Izrail, dan ketika tiba saat berbuka puasa, Nabi Idris a.s. mengajaknya makan bersama, namun di tolak oleh Malaikat Izrail. Selesai berbuka puasa, seperti biasanya, Nabi Idris a.s mengkhususkan waktunya "menghadap". Alloh sampai keesokan harinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian Malaikat Izrail. Juga ketika Nabi Idris terus-menerus berzikir dalam melakukan kesibukan sehari-harinya, dan hanya berbicara yang baik-baik saja. Pada suatu hari yang cerah, Nabi Idris a.s mengajak jalan-jalan "tamunya" itu ke sebuah perkebunan di mana pohon-pohonnya sedang berbuah, ranum dan menggiurkan.

"Izinkanlah saya memetik buah-buahan ini untuk kita". pinta Malaikat Izrail (menguji Nabi Idris a.s).
"Subhanalloh, (Maha Suci Alloh)" kata Nabi Idris a.s.
"Kenapa ?" Malaikat Izrail pura-pura terkejut.
"Buah-buahan ini bukan milik kita". Ungkap Nabi Idris a.s. Kemudian Beliau berkata: "Semalam anda menolak makanan yang halal, kini anda menginginkan makanan yang haram".

Malaikat Izrail tidak menjawab. Nabi Idris a.s perhatikan wajah tamunya yang tidak merasa bersalah. Diam-diam beliau penasaran tentang tamu yang belum dikenalnya itu. Siapakah gerangan ? pikir Nabi Idris a.s.

"Siapakah engkau sebenarnya ?" tanya Nabi Idris a.s.
Aku Malaikat Izrail". Jawab Malaikat Izrail.

Nabi Idris a.s terkejut, hampir tak percaya, seketika tubuhnya bergetar tak berdaya.

"Apakah kedatanganmu untuk mencabut nyawaku ?" selidik Nabi Idris a.s serius.
"Tidak" Senyum Malaikat Izrail penuh hormat.
"Atas izin Alloh, aku sekedar berziarah kepadamu". Jawab Malaikat Izrail.

Nabi Idris manggut-manggut, beberapa lama kemudian beliau hanya terdiam.

"Aku punya keinginan kepadamu". Tutur Nabi Idris a.s
"Apa itu ? katakanlah !". Jawab Malaikat Izrail.
"Kumohon engkau bersedia mencabut nyawaku sekarang. Lalu mintalah kepada Alloh SWT untuk menghidupkanku kembali, agar bertambah rasa takutku kepada-Nya dan meningkatkan amal ibadahku". Pinta Nabi Idris a.s.
"Tanpa seizin Alloh, aku tak dapat melakukannya", tolak Malaikat Izrail.

Pada saat itu pula Alloh SWT memerintahkan Malaikat Izrail agar mengabulkan permintaan Nabi Idris a.s. Dengan izin Alloh Malaikat Izrail segera mencabut nyawa Nabi Idris a.s. sesudah itu beliau wafat.

Malaikat Izrail menangis, memohonlah ia kepada Alloh SWT agar menghidupkan Nabi Idris a.s. kembali. Alloh mengabulkan permohonannya. Setelah dikabulkan Allah Nabi Idris a.s. hidup kembali.

"Bagaimanakah rasa mati itu, sahabatku ?" Tanya Malaikat Izrail.
"Seribu kali lebih sakit dari binatang hidup dikuliti". Jawab Nabi Idris a.s.
"Caraku yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu". Kata Malaikat Izrail.

MasyaAlloh, lemah-lembutnya Malaikat Maut (Izrail) itu terhadap Nabi Idris a.s. Bagaimanakah jika sakaratul maut itu, datang kepada kita ?

Siapkah kita untuk menghadapinya ?


~dari berbagai sumber~

3.28.2005

Mencintai Itu Keputusan

Karya : Anis Matta

Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya.
Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia.
Baru saja mekar. Ini bukan persekutuan yang mudah.
Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya.
Sebentar. kemudian ia pun berkata,
"Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang kamu temui di sini". Itulah kalimat pertama Utsman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya dari Syam, Naila.
Selanjutnya adalah bukti.

Sebab cinta adalah kata lain dari memberi.
sebab memberi adalah pekerjaan..
sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat danmelindungi itu berat.
sebab pekerjaan berat itu harus ditunaikan dalam waktu lama.
sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh.

maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia mengatakan,"Aku mencintaimu".
Kepada siapapun!
Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian disitu.

Aku mencintaimu, adalah ungkapan lain dari Aku ingin memberimu sesuatu.
Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari,
"Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu
untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia..."
"aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimalmungkin..."
"aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang akan kulakukan padamu ..."
"aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu...."

Dan proses pertumbuhan itu taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadapintegritas kepribadian kita.
Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, "Aku mencintaimu", kamu harus membuktikan ucapan itu.
Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.
Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap.
Tidak ada cinta tanpa kepercayaan.
Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti.
Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.

Jalan hidup kita biasanya tidak linear. Tidak juga seterusnya pendakian. Atau penurunan. Karena itu, konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional.

Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Di situ konsistensi teruji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tengah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam waktu yang longgar.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya mengatakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat bagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati.

Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu.


~life without love is like night without stars~

3.23.2005

The power of Love

Seperti sebuah tiupan angin, lembut dan mengantarkan kesejukan. Angin, sesuatu hal yang abstrak tapi ketika dia sudah bertindak kasar, jangankan segundukan gunung pasir yang tinggi, bahkan gedung angkuh dan menara pencakar langit bisa luluh lantak tanpa sisa. Demikian pula cinta, ia ditakdirkan sebagai satu benda tanpa bentuk, nama untuk beragam perasaan, judul untuk semua gemuruh hati, muara dari berjuta makna, wakil dari harapan tak terkira, kekuatan tak terartikan.

Kisah itu pun bermuara pada jatuh cinta, suatu peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian manusia sepanjang masa. Cinta, mampu mengubah seorang pengecut jadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut, yang lemah jadi kuat. Cinta merajut emosi manusia, begitu agung bahkan rumit sekaligus. Maka syair Rabiah al adawiyah, Rumi, Iqbal Tagore, Kahlil Gibran, sampai legenda Romeo dan Juliet, Siti Nurbaya, Cinderella menjadi begitu abadi tersimpan di dalam lembar sejarah hidup manusia. Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya: seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayap-sayapnya yang Patah.

Sebuah kisah dari sang raja yang galau karena sang putra mahkotanya ternyata seorang pemuda, apatis, dan tak berbakat. Suatu saat raja mencoba mengubah pribadi putranya dengan kata kunci: “The power of love”. Sang raja kemudian mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika berubah menjadi taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah sesuatu yang diharapkan, putranya jatuh cinta dengan seseorang diantara mereka. Tapi kepada gadis itu raja berpesan,”Kalau puteraku menyatakan cinta padamu, bilang padanya ,”Aku tidak cocok untukmu, Aku hanya cocok untuk seseorang raja atau seseorang yang berbakat menjadi raja.” Benar saja, putera mahkota seketika tertantang. Maka ia pun mempelajari segala hal yang harus diketahui oleh seorang raja dan ia pun melatih diri menjadi seorang raja. Dan seketika luar biasa, bakat seorang raja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata ia bisa! Tapi karena cinta.

Cinta telah bekerja dalam jiwanya, sempurna. Dan memang selalu begitu, mengali jiwa manusia ke dalam, terus mendalam, sampai mata air keluhuran hati ditemukannya. Maka dari sana menyeruak luar biasa semua potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dari sana, mata air keluhuran mengalir deras, membanjir dan desak mendesak hingga bermuara pada perbaikan watak dan penghalusan jiwa. Cinta membuat manusia jadi manusia, dan memperlakukan manusia ditempat kemanusiaan yang tinggi.

Kalau cinta kita kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia, hewan, tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan untuk yang kita cintai. Dengan kata lain, cinta suci harus mampu membawa sesuatu yang dicintai pada kebaikan, pada hakikat cinta sejati, pada cinta Allah yang abadi. Jatuh cinta membuat manusia merendah, tapi sekaligus bertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.

“Kamu takkan pernah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa, tanpa gerak, tanpa daya hidup, tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka dan syahwat.” (Annis Matta)

Seperti itu pulalah cinta bekerja ketika harus memenangkan Allah atas diri sendiri dan yang lain, atau memenangkan iman atas syahwat.

• Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang maksudnya:
"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Ali Imran: 31)

• Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya:

"Tidaklah beriman (secara sempurna) salah seorang dari kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia." (HR. Al-Bukhari)

• Ayat di atas menunjukkan bahwa kecintaan kepada Allah adalah dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mentaati apa yang beliau perintahkan dan meninggalkan apa yang beliau larang, menurut hadis-hadis shahih yang beliau jelaskan kepada umat manusia. Tidaklah kecintaan itu dengan banyak bicara dengan tanpa mengamalkan petunjuk, perintah dan sunnah-sunnah beliau.

• Adapun hadis shahih di atas, ia mengandungi pengertian bahwa iman seseorang muslim tidak sempurna, sehingga ia mencintai Rasulullah SAW melebihi kecintaannya terhadap anak, orang tua dan segenap manusia, bahkan –sebagaimana ditegaskan dalam hadis lain– hingga melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri.
Pengaruh kecintaan itu tampak ketika terjadi pertentangan antara perintah-perintah dan larangan-larangan Rasulullah SAW dengan hawa nafsunya, keinginan isteri, anak-anak serta segenap manusia di sekelilingnya. Jika ia benar-benar mencintai Rasulullah SAW, ia akan mendahulukan perintah-perintahnya dan tidak menuruti kehendak nafsunya, keluarga atau orang-orang di sekelilingnya. Tetapi jika kecintaan itu hanya dusta belaka maka ia akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu menuruti syaitan dan hawa nafsunya.

Cinta di atas cinta, dan adakah yang lebih mulia cintanya dari suatu Zat yang begitu mencintai kita?, yang tak pernah meninggalkan kita di saat kita galau dan bimbang. Cinta, semuanya atas nama cinta, bukanlah suatu hal yang salah apalagi tercela. Ia mampu mengangkat manusia menduduki posisi paling agung, ketika sang manusia mampu menempatkannya pada posisi terhormat di relung hatinya. Allah memberikan kesempatan pada kita untuk menghirup dunia ini, itu atas cinta Allah pada kita. Allah telah menciptakan kita begitu sempurna, memberikan kita raga begitu rupa, memberikan kita waktu begitu raya, memberikan semuanya begitu berharga. Allah pulalah yang selalu di sisi kita, melihat kita, mendengar kita, membimbing kita menuntun kita walau kita kadang luput untuk mengingat-Nya. Allah pulalah yang selalu hadir dalam kesendirian kita, di saat kita tersudut dalam keperihan, di saat kita terpuruk dalam kedukaan, di saat semua lupa pada kita. Allah pulalah satu-satunya yang tak pernah mengecewakan kita atas sesuatu hal yang kita harap. Allah-lah satu satunya yang Maha Pemberi terbaik bagi hamba-hambanya. Begitu besarnya cinta Allah kepada kita, tak tertandingi seluas langit dan bumi pun. Apakah kita, manusia, masih mampu menggantikan cinta-Nya dengan seorang hamba manapun yang lemah dan papa?

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. 55:13)


Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS.Al Hujurat:7).

Wallahu’alam Bishawab

Sumber: aku lupa darimana aku ambil tulisan ini, yang jelas ini bukan tulisan aku.

3.15.2005

Hati yang Sakit

Rasulullah Saw. bersabda: “Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya.
Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati
". (HR Bukhari dan Muslim).

Ada istilah-istilah dalam alquran untuk menyebut hati. Pertama hati yang bermakna sebenarnya. Jika kita merasa sakit hati, untuk hati yang semacam ini, hanya dokter yang bisa membantu mengobatinya. Kedua qalbu. Qalbu memiliki sifat tidak konsisten, mudah dibolak-balikkan. Qalbu pula memiliki dua sifat, berkecenderungan baik dan buruk.
Qalbu inilah yang menentukan sholeh tidaknya seseorang. Jika kita bagi komponen manusia ini, maka kita dapat membedakan manusia menjadi tiga komponen: jasad, akal dan hati.

Sholeh tidaknya seseorang tidak ditentukan: jasadnya yang kuat, akalnya yang cerdas, tapi ditentukan oleh qalbunya yang sehat. Jadi, untuk menjadi sholeh yang harus diperbaiki bukan jasad atau akal tapi qalbu. Tapi bukan berarti kita menomorduakan jasad atau akal. Misalnya kita tak pernah mandi, berolahraga dan belajar. Bukan itu maksudnya, selain kita menjaga hati, kita juga mesti memperbaiki jasad dan akal kita.

Ada tiga keadaan qalbu:

1. Qalbu yang mati.
Bagaimana ciri-ciri qalbu yang mati ini. Pernahkah kita mengajak teman/kawan untuk mengaji. Orang yang hatinya mati akan susah menerima ajakan ini. Selalu saja ada alasan untuk menolak. Seperti jika dinasihati masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Untuk kasus hati seperti ini ada dua usaha yang mesti kita lakukan, yaitu ajak dan doakan. Tentunya mengajak dengan cara dan situasi yang sesuai.

2. Qalbu yang sakit
Ciri-ciri:
a. tidak merasakan nikmat dalam beribadah
Jika kita beribadah merasa gersang maka ini adalah pertanda hati kita sedang sakit. Kita sholat tapi tidak merasa apa-apa, biasa saja.

b.jika berdoa pesimis tidak terkabul
Bukankah Allah telah berfirman: “Berdoalah (minta) kepadaKu, nescaya akan Aku kabulkan”. (Al-Mukmin:60). Jika kita berdoa kita sendiri tidak yakin doa kita akan dikabul. Bukankah dalam ayat tersebut Allah telah berjanji bahawa setiap doa pasti akan dikabulkan-Nya.

c. tidak merasa berdosa jika berbuat salah
Saya ingat ceramah seorang ustadz. Hati yang bersih itu ibarat baju putih. Jika baju itu terkena noda hitam sedikit, awalnya akan kelihatan. Demikian juga untuk hati yang sehat. Jika kita melakukan kesalahan, kita akan merasa berdosa.

Tapi jika tiap hari terkena noda, maka baju yang putih tadi akan menjadi hitam dan pada suatu saat noda hitam itu tidak akan kelihatan. Jadi, jika kita melakukan dosa dan dosa-dosa itu kita ulangi, nanti pada suatu saat jika kita melakukan kesalahan/maksiat lagi kita akan tidak merasa berdosa. Oleh itu jika kita merasa bersalah mesti cepat diperbaiki, cepat taubat.

d. sering terjebak dalam lingkaran setan
Maknyanya dapat diambil suatu contoh kita berhenti dari satu kesalahan kemudian masuk kepada kesalahan yang lain. Artinya setelah berhenti melakukan suatu dosa, kita melakukan dosa yang lain.

3. Qalbu yang sehat
Ciri-ciri dari qalbu yang sehat merupakan kebalikan daripada ciri-ciri hati yang sakit.
a. merasa nikmat jika beribadah
b. yakin doa akan dikabul
c. jika berbuat dosa/maksiat ia akan ingat kepada Allah, berhenti dari kesalahan, dan langsung memperbaiki diri kemudian tobat.

Allahumma ya muqallibal quluubi, tsabit qalbi alaa diinika wa ala ta’atika”. (Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku kepada dien/agama dan ketaatan kepada-MU).

3.12.2005

Tidak Ada Kebetulan dalam Ilmu Allah

Abraham Lincoln menjadi presiden Amerika tahun 1860
John F. Kennedy menjadi presiden Amerika tahun 1960.
Pengganti Lincoln bernama Johnson (Andre) lahir tahun 1808
Sedangkan pengganti Kennedy juga Johnson (Lindon) lahir tahun 1908
Kedua presiden, Lincoln dan Kennedy tewas terbunuh

Pembunuh Lincoln lahir tahun 1839, pembunuh Kennedy lahir tahun 1939
Kedua pembunuh presiden ini terbunuh sebelum sempat diadili.
Sekretaris Lincoln bernama Kennedy, sekretaris Kennedy bernama Lincoln
Kedua sekretaris menyarankan kepada presiden agar tidak pergi ke tempat dimana kemudian terjadi pembunuhan, namun keduanya menolak.
Pembunuh Lincoln melakukan pembunuhan di teater kemudian bersembunyi di pasar swalayan.
Pembunuh Kennedy, sebaliknya.

Apakah semua itu "kebetulan"?
Dalam kehidupan Rasulullah terdapat pula hal-hal yang dapat dinamai kebetulan-kebetulan.
Beliau lahir, hijrah dan wafat pada hari Senin bulan Rabiul awwal.
Ayah beliau bernama Abdullah (pengabdian kepada ALLAH)
Ibunya Aminah (Kedamaian dan Keamanan)
Bidan yang menangani kelahirannya bernama Asy-Syifa (kesembuhan, perolehan sempurna dan memuaskan).
Sedangkan yang menyusukan beliau bernama Halimah (Yang Lapang Dada).
Beliau sendiri diberi nama Muhammad (Yang Terpuji), suatu nama yang sebelumnya tidak dikenal sehingga menimbulkan banyak pertanyaan, "mengapa kakeknya menamainya demikian?"

Apakah nama-nama tersebut merupakan kebetulan-kebetulan atau ia merupakan isyarat tentang kepribadian manusia ini?
Suatu peristiwa yang tidak sejalan dengan kebiasaan atau terjadi secara tidak terduga biasa kita sebut "kebetulan".

Keterbatasan kemampuan dan pengetahuan mengantarkan kita untuk menamainya demikian. Tidak ada "kebetulan" disisi ALLAH S.W.T.
Bukankah DIA Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Pengendali dan Pengatur alam ini?Sebahagian dari kebetulan-kebetulan itu tidak dapat ditafsirkan dengan teori kausalitas (sebab-akibat).

dari berbagai sumber

3.11.2005

Ibuku Hebat

Ibu. Kata yang kurindukan untuk menyebutnya. Ingin rasanya aku dekat lagi dengannya. Ingin ku bermanja dengannya seperti waktu aku masih kecil dulu. Ingin kumenangis lagi agar ia memperhatikan aku. Pernah suatu kali, ia mencubitku sampai meninggalkan tanda hitam di pahaku. Sakitnya bukan main. Jika mengingatnya aku ingin tersenyum sendiri. Tapi kini kusadari dibalik sikap “jengkelnya” masih ada lebih banyak rasa sayangnya.

Kusadari juga betapa tidak mudahnya tugas seorang Ibu. Ku bayangkan setiap hari mesti mengurus rumah tangga mulai urusan dapur, cuci-mencuci, membereskan rumah, melayani suami, dan menjaga anak-anakny hingga tertidur sampai larut malam.

Ku tahu sifat sayangnya begitu besar, terlebih sifat sabarnya. Karena memang mereka diberi karunia sifat yang lembut. Sifat yang unik yang tidak dimiliki lelaki.

Di tangan seorang Ibulah pendidikan seorang anak. Ibu menjadi tempat sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ibu mengajarkan sifat terpuji, berkata yang benar, berperilaku baik terhadap sesama, rasa sayang, cinta dan kejujuran. Dan Ibu pula berperan dalam pendidikan agama.

"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya nasrani, yahudi atau majusi." (HR. Bukhari).

Alhamdulillah, diriku terlahir dalam keluarga muslim. Bagaimana jadinya jika aku lahir di tengah keluarga non muslim. Belum tentu aku mendapat hidayah-Nya untuk merasakan nikmatnya Islam dan Iman.

Ingin rasanya aku membalas jasa kedua orang tuaku. Ah, tapi tak mungkin. Jasa mereka tak terbalaskan. Aku hanya bisa berdoa untuk mereka. "Ya Allah ampuni dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka seperti mereka mengasihi aku waktu kecil".

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan perkataan "ah", dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al-Isra: 23).

Dari Abu Hurairah, dia berkata, telah datang kepada Rasulullah saw, seorang laki-laki lalu bertanya:, "Wahai Rasulullah, siapakah yang lebih berhak untuk saya pergauli dengan baik?" Beliau menjawab, "Ibumu" dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Ibumu" dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Ibumu" dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Ayahmu". (HR Muslim)

Bunda, aku rindu dirimu, senyummu adalah surga.

3.07.2005

Tentang Cinta di Rumah Kita

In brief

M Fauzil Adhim

Sakinah Mawaddah Wa rahmah

Seperti kata Linda J. Waite, penulis buku Selamat Menempuh Hidup Baru (Qanita, Bandung), pernikahan yang hanya meneguhkan cinta dua orang akan mudah pudar. Perlu ada ikatan yang lebih besar, lebih suci, sehingga dalam pernikahan akan menyemai cinta yang menghidupkan jiwa. Cinta yang meredakan gejolak-gejolak jiwa, akan tumbuh hadir menyertai perkawinan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu dari jenismu sendiri istri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum:21).

Sakinah hadir dengan sendirinya sebagai anugerah dari Allah yang menyertai setiap pernikahan. Ia tak perlu menjadi tujuan. Kelau kemudian tak ada sakinah dalam rumah tangga kita, ada yang perlu kita periksa dalam niat dan tujuan kita menikah, serta bagaimana kita merawatnya. Mawaddah wa rahmah –cinta yang bergelora dan kasih yang tulus- menilik ayat tadi akan ja’ala (diadakan, dijadikan) oleh Allah kepada sebagian hamba-Nya.

Mawaddah –berasal dari kata wudd- adalah cinta yang bergelora. Cinta yang utopis. Cinta yang membakar semangat sehingga menguatkan orang-orang yang lemah, menjadikan bersemangat orang-orang yang lemah harapan, menumbuhkan optimisme pada orang-orang yang jiwanya merasa tak berdaya. Cinta seperti inilah yang membuat kita tetap mampu tersenyum lebar meskipun perut terasa lapar. Allah Ta’ala akan akan tanamkan pada hati kita wudd apabila kita menegakkan iman dan amal shalih. Allah berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal-shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa cinta (wudd).” (QS. Maryam : 96).

Elaine N. Aron, penulis buku The Highly Sensitive Person in Love menunjukkan bahwa yang dapat memelihara cinta dalam perkawinan bukanlah kesamaan karakter, kesamaan hobi dan bukan pula rasa cinta yang mereka bawa sebelum memasuki perkawinan. Tetapi bagaimana mereka menjadikan perkawinannya sebagai sesuatu yang bersifat spiritual. Sebanyak apa pun perbedaan antara Anda dan istri atau suami Anda, jika diikat oleh ruh yang sama, maka seperti pasukan, Anda akam membentuk bariasan yang rapat, yang solid, yang kompak. Al-arwahu junudun mujannadah. (Sesungguhnya) ruh-ruh itu seperti pasukan yang berbaris (he... hm... kalau yang ini bukan dari Elaine N. Aron).

Cinta dan Barakah

Rasullah saw. melarang kita mendo’akan pengantin baru dengan do’a bahagia dan banyak anak, tetapi menyuruh kita mendo’akan agar pernikahan itu barakah. Apa istimewanya? Wallahu a’lam bishawab. Sepanjang saya tahu, di dalam pernikahan yang barakah pasti akan hadir sakinah mawaddah wa rahmah. Tetapi dalam pernikahan yang di dalamnya ada ‘ulfah (keharmonisan), belum tentu terdapat barakah. Secara sederhana barakah bermakna ziyadatul-khair. Kebaikan yang bertambah-tambah.

Apa yang mendatangkan barakah? Mari kita simak ayat berikut ini, ”Andaikata penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan bukakan untuk mereka barakah dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96).

Agar Cinta Bersemi Indah

Tetapi... setelah cinta hadir dalam pernikahan, padahal sebelumnya engkau tidak saling mengenal, maka ada yang perlu kita dan kita rawat. Apa saja yang perlu kita perhatikan? Inilah beberapa catatan yang menarik kita simak:

Bicaralah dengan Mesra

Al-Qur’an membari kita panduan berkomunikasi. Kepada publik, gunakan qaulan maysuran (berkata yang sederhana, mudah dimengerti). Kepada anak, pakailan qaulan sadidan (perkataan yang tegas, straight to the point, konsisten). Kepada orang yang keras kepala seperti Fir’aun berbicaralah dengan menyentuh (qaulan layyinan). Adapun kepada suami atau istri, Allah perintahkan kita untuk berbicara dengan qaulan ma’rufah (perkataan yang enak didengar, indah dirasa). Ini bukan soal apa yang kita bicarakan, tetapi bagaimana kita mengatakannya sebagaimana air mineral bisa bernama Aqua, bisa bernama Evian dan bisa juga bernama Qannat yang mengucapkannya saja bikin tenggorokan tersendat.

Ada Tiga Panggilan Untuknya

Rasulullah saw. memanggil istrinya, ‘Aisyah, dengan tiga panggilan. Panggilan yang berbeda mengisyaratkan suasana yang berbeda. Rasulullah saw. memanggil dengan sebutan “Ya Aisyah”, “Ya Aisy” dan “Ya Humaira”. Sebutan humaira’ (yang pipinya merah jambu) menunjukkan panggilan yang mesra. Nah, bagaimana kita memanggil istri atau suami di rumah?

Sebuah kekuatan di Telinga Kita

”Barangsiapa yang paling baik dalam mendengarkan,” kata ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, “maka dialah yang segera mendapat manfaat.”

Man ahsanal istima’, ta’ajjalal intifa’.

Diane E. Papalia & Sally Wendkos Olds menulis dalam buku Human Development bahwa anugerah terindah bagi seorang wanita setelah menikah adalah ia mendapatkan orang yang mendengar keluh-kesahnya, kisah-kisah yang tak terlalu penting untuk diceritakan tetapi baginya sangat bermakna, serta tak terkecuali omelan-omelannya. Jika Anda ingin tahu apa yang paling ampuh meredakan rasa cemburu yang berapi-api dari seorang istri, lebarkanlah telinga Anda. Rasulullah saw. memberi contoh bagaimana mendengar dapat melahirkan kekuatan yang besar.

Maknanya adalah Pengakuan dan Penghormatan

Rasulullah Saw. bersabda ,”Engkau tak mungkin dapat memenuhi kebutuhan semua orang dengan hartamu; karenanya cukupilah semua dengan wajahmu yang gembira dan watak yang baik” (HR. Al-Hakim).

Suatu ketika Sa’d bin Hisyam bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasullah Saw. mendapat pertanyaan seperti itu, ‘Aisyah balik bertanya, “Apakah engkau membaca Al-Qur’an?”

“Tentu saja, “ kata Sa’d bin Hisyam menjawab.

“Akhlaknya adalah Al-Qur’an,” kata ‘Aisyah menerangkan. Tidak puas dengan jawaban itu, Sa’d bin Hisyam meminta ‘Aisyah untuk memberi jawaban yang rinci. Tetapi ‘Aisyah menyuruh orang untuk membaca sepuluh ayat dari surat Al-Mu’minun.

Sebagaimana Sa’d bin Hisyam, kita mungkin masih sulit membayangkan akhlak Rasullah Saw. Sa’d bin Hisyam yang hidup sezaman dengan Nabi Saw. saja masih meminta Ummul Mukminin ‘Aisyah untu merinci. Padahal ia masih sempat melihat Rasullah Saw. secara langsung. Ia juga membaca Al-Qur’an. Bahkan tak sekedar membaca, kehidupan para sahabat hingga tabi’in sangat dekat dengan Al-Qur’an. Akan tetapi, dengan keadaan mereka yang seperti itu saja, jawaban “akhlaknya adalah Al-Qur’an” dirasa masih kurang jelas. Lalu bagaimana dengan kita yang amat jauh dari Al-Qur’an? Mushhaf Al-Qur’an yang kita miliki lebih banyak dan lebih indah dari milik para sahabat, tetapi hampir tidak mengenalnya. Karena itu, untuk mengetahui akhlak Nabi Saw. secara lebih sempurna, marilah kita tengok Imam Al-Hafidz Imaduddin Abul-Fida Ismai bin Katsir. Dalam tafsirnya yang terkenal, Ibnu Katsir pernah menuliskan penuturan Atha’ sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih:

“Saya, Ibnu Umar dan ‘Ubaid bin Amir pergi ke rumah ‘Aisyah r.a.. Kami pun masuk ke rumahnya. Antara kami dan dia terdapat hijab (sekat penutup), “ kata Atha’. Kemudian Atha’ menuturkan percakapan yang berlangsung di rumah ‘Aisyah:

“Hai ‘Ubaid,” kata ‘Aisyah, “ mengapa kamu tidak mengunjungiku?”

“Karena penyair mengatakan,” jawab ‘Ubaid, “Berkunjunglah dengan jarang, niscaya bertambah kecintaanmu.”

Ibnu Umar berkata, “Izinkan kami di sini sejenak dan ceritakanlah kepada kami perkara paling mempesona dari semua yang pernah engkau saksikan pada diri Nabi.”

‘Aisyah menarik nafas panjang. Kemudian dengan terisak menahan tangis, ia berkata dengan suara lirih, “Kaana kullu amrihi ‘ajaba. Ah, semua perilakunya menakjubkan bagiku.”

Masih dengan suara lirih, ‘Aisyah bercerita, “suatu malam, ketika dia tidur bersamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, dia berkata, ‘Ya ‘Aisyah izinkan aku beribadah kepada Tuhanku.’ Aku berkata, ‘Sesungguhnya aku senang merapat denganmu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadah kepada Tuahanmu.’ Dia bangkit mengambil gharaba air, lalu berwudhu. Ketika berdiri shalat, kudengar dia terisak-isak menangis hingga airmatanya membasahi janggut. Kemudian dia bersujud dan menangis hingga lantai pun basah oleh air mata. Lalu dia berbaring dan menangis hingga datanglah Bilal untuk memberitahukan datangnya waktu subuh.”

‘Aisyah melanjutkan, “Bilal berkata, ‘Ya Rasulullah, kenapa engkau menangis padahal Allah telah ampuni dosa-dosamu baik yang terdahulu maupun yang akan datang.’ ‘Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur?’ kata Rasulullah, ‘Aku menangis karena malam tadi Allah telah turunkan ayat kepadaku, ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.’ Kemudian Nabi bersabda, ‘Celaka orang yang membaca ayat ini namun tidak merenungkannya.’”

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad. Apa makna peristiwa ini? Pengharapan, pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi isteri. Uang belanja yang cukup saja tak cukup. Fasilitas saja tak bis merawat cinta. Ada yang tak bisa dibeli dengan uang, dan ia hanya bisa dibeli dengan penghormatan dan pengakuan.

3.04.2005

Perasaannya Selembut Sutera

Jangankan lelaki biasa, Nabi pun terasa sunyi tanpa wanita. Tanpa mereka hati, fikiran, perasaan lelaki akan resah. Masih mencari walaupun sudah ada segala galanya.
Apa lagi yang tidak ada di syurga, namun Nabi Adam a.s tetap merindukan Siti Hawa. Kepada wanitalah lelaki memanggil ibu, isteri atau puteri.
Dijadikan mereka dari tulang rusuk yang bengkok untuk diluruskan oleh lelaki, tetapi kalau lelaki sendiri yang tak lurus, tdk mungkin mampu hendak meluruskan mereka.

Tak logik kayu yang bengkok menghasilkan bayang-bayang yang lurus.
Luruskanlah wanita dengan cara petunjuk Allah, karena mereka diciptakan begitu rupa oleh Mereka.
Didiklah mereka dengan panduan dariNya.

JANGAN COBA JINAKKAN MEREKA DENGAN HARTA,
NANTI MEREKA SEMAKIN LIAR.
JANGAN HIBURKAN MEREKA DENGAN KECANTIKAN,
NANTI MEREKA SEMAKIN MENDERITA.
Yang sementara itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kenalkan mereka kepada Allah, zat yang kekal, disitulah kuncinya.

AKAL SETIPIS RAMBUTNYA, TEBALKAN DENGAN ILMU.
HATI SERAPUH KACA, KUATKAN DENGAN IMAN.
PERASAAN SELEMBUT SUTERA, HIASILAH DENGAN AKHLAK.

Suburkanlah karena dari situlah nanti mereka akan nampak penilaian dan keadilan Tuhan.
Akan terhibur dan bahagialah hati mereka, walaupun tidak jadi ratu cantik dunia, presiden ataupun perdana menteri negara atau women gladiator.
Bisikkan ke telinga mereka bahwa kelembutan bukan suatu kelemahan. Itu bukan diskriminasi Tuhan. Sebaliknya disitulah kasih sayang Tuhan, karena rahim wanita yang lembut itulah yang mengandungkan lelaki-lelaki wajah : negarawan, karyawan, jutawan dan " wan-wan" lain. Tidak akan lahir superman tanpa superwoman.
Wanita yang lupa hakikat kejadiannya, pasti tidak terhibur dan tidak menghiburkan.
Tanpa ilmu, iman dan akhlak, mereka bukan saja tidak bisa diluruskan, bahkan mereka pula membengkokkan.

LEBIH banyak LELAKI YANG DIRUSAKKAN OLEH PEREMPUAN
DARIPADA PEREMPUAN YANG DIRUSAKKAN OLEH LELAKI.
SEBODOH-BODOH PEREMPUAN PUN BISA MENUNDUKKAN SEPANDAI-PANDAI LELAKI

Itulah akibatnya apabila wanita tidak kenal tuhan. Mereka tidak akan kenal diri mereka sendiri, apalagi mengenal lelaki. Kini bukan saja banyak boss telah kehilangan secretary, bahkan anak pun akan kehilangan ibu, suami kehilangan isteri dan bapa akan kehilangan puteri.
Bila wanita durhaka dunia akan huru-hara. Bila tulang rusuk patah, rusaklah jantung, hati dan limpa.
Para lelaki pula jangan hanya mengharap ketaatan tetapi binalah kepimpinan.

Pastikan sebelum memimpin wanita menuju Allah PIMPINLAH DIRI SENDIRI DAHULU KEPADANYA.
Jinakkan diri dengan Allah, nescaya akan jinaklah segala-galanya dibawah pimpinan kita.

JANGAN MENGHARAP ISTERI SEPERTI SITI FATIMAH,
KALAU PRIBADI BELUM LAGI SEPERTI SAYIDINA ALI

Harapanku Tak Akan Pernah Mati

Ibarat seorang pelari cepat 100 m dan 400 m yang tengah berlari dalam lomba lari. Seorang pelari 100 meter akan merasakan letihnya jika ia telah menyelesaikan target jarak 100m. Berbeda dengan pelari 400 m, ketika ia sampai pada jarak 100 m, masih ada kekuatan dalam dirinya untuk berlari sampai finish. Bahkan di meter ke 200, dan 300 pun ia masih bersemangat untuk berlari sampai target 400 meter. Setelah sampai finish ia menyadari bahwa tidak perlu berlari lagi karena memang tak perlu. Ia juga akan merasakan capek.

Coba juga bayangkan pelari jarak jauh 10 K. Apakah ia akan merasa lelah sebelum target tercapai, tentu tidak bukan? Ia akan bersemangat untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya. Kemudian apa yang terjadi setelah ia mencapai apa yang diinginkan/dicita-citakan. Pertama mungkin merasa gembira, lelah, lama-lama akan biasa-biasa saja.

Bercita-citalah tinggi, gantungkan harapanmu setinggi-tingginya. Cita-cita dan harapan yang pasti tentunya. Mulailah dengan niat yang baik. Kemudian berusahalah dengan keras. Jangan berlaku curang dalam mengejar harapanmu. Karena tidak ada kebanggaannya jika engkau berbuat demikian. Justru nanti kita akan menyesal. Penyesalan yang selalu datang di akhir.

Jadi, tanyakan pada diri kita sendiri, apa keinginan kita, cita-cita kita, harapan kita, dan tujuan hidup kita?Apakah kita menginginkan menjadi orang kaya semata? Ingin jabatan yang tinggi di kantor? Sekolah sampai memperoleh gelar yang paling tinggi? Berharap akan memiliki isteri/suami yang cantik/ganteng? Memiliki mobil yang mahal dan banyak? Dan lain-lain yang sifatnya duniawi.

Apakah kita lupa kepada akhirat? Lupa apa tujuan kita diciptakan, Astaghfirullah.

Ya Rab, jika nanti tiba masaku untuk menghadap-Mu. Aku ingin berjumpa dengan-Mu dengan hati yang bersih. Karena aku berharap Engkau memperkenankan diriku masuk surga-Mu. Jangan beri hijab antara diriku dengan-Mu ya Rab, karena aku rindu ingin bisa melihat Wajah-Mu.

Amin.

Alangkah indahnya jika tujuan dan harapan kita hanya kepada-Allah semata.

Saat Jodoh Tak Kunjung Datang (Part II)


Barangkali, Kitalah Penyebabnya

Menjelang tengah malam, seorang ikhwan mengirim SMS kepada saya. Dia seorang aktivis yang amat banyak menghabiskan waktunya untuk menyebarkan kebaikan. Bila berbicara dengannya, kesan yang tampak adalah semangat yang besar di dadannya untuk melakukan perbaikan. Kalau saat ini yang mampu dilakukan masih amat kecil, tak apa-apa. Sebab perubahan yang besar tak ‘kan terjadi bila kita tidak mau memulai dari yang kecil. Tetapi kali ini, ia berkirim SMS bukan untuk berbagi semangat. Ia kirimkan SMS karena ingin meringankan beban yang hampir ada kerinduan yang semakin berambah untuk memiliki pendamping yang dapat menyayanginya sepenuh hati.

SMS ini mengingatkan saya pada beberapa kasus lainnya. Usia sudah melewati tiga puluh, tetapi belum juga ada tempat untuk menambatkan rindu. Seorang pria usia sekitar 40 tahun, memiliki karier yang cukup sukses, merasakan betapa sepinya hidup tanpa istri. Ingin menikah, tapi takut tak bisa mempergauli istrinya dengan baik. Sementara terus melajang merupakan siksaan yang nyaris tak dapat ditahan. Dulu ia ingin menikah, ketika keriernya belum seberapa. Tetapi niat itu dipendam dalam-dalam karena merasa belum mapan. Ia harus mengumpulkan dulu uang yang cukup banyak agar bisa menyenangkan istri. Ia lupa bahwa kebahagiaan itu letaknya pada jiwa yang lapang, hati yang tulus, niat yang bersih dan penerimaan yang hangat. Ia juga lupa bahwa jika ingin mendapatkan istri yang bersahaja dan menerima apa adanya, jalannya adalah dengan menata hati, memantapkan tujuan dan meluruskan niat. Bila engkau ingin mendapatkan suami yang bisa menjaga pandangan, tak bisa engkau meraihnya dengan, “Hai, cowok... Godain kita, dong. “

Saya teringat dengan sabda Nabi Saw. (tapi ini bukan tentang nikah). Beliau berkata, ”Ruh itu seperti pasukan tentara yang berbaris.” Bila bertemu dengan yang serupa dengannya, ia akan mudah mengenali, mudah juga bergabung dan bersatu. Ia tak bisa mendapatkan pendamping yang mencintaimu dengan sederhana, sementara engaku jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engaku jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan suami yang menerimamu sepenuh hati dan tidak ada cinta di hatinya kecuali kepadamu; sementara engkau berusaha meraihnya dengan menawarkan kencan sebelum terikat oleh pernikahan? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan lelaki yang terjaga bila engkau mendekatinya dengan menggoda?

Di luar soal cara, kesulitan yang kita hadapi saat ingin meraih pernikahan yang diridahi tak jarang kerana kita sendiri mempersulitnya. Suatau saat seorang perempuan memerlukan perhatian dan kasih-sayang seorang suami, ia tidak mendapatkannya. Di saat ia merindukan hadirnya seorang anak yang ia kandung sendiri dengan rahimnya, tak ada suami yang menghampirinya. Padahal kecantikan telah ia miliki. Apalagi dengan penampilannya yang enak dipandang. Begitupun uang, tak ada lagi kekhawatiran pada dirinya. Jabatannya yang cukup mapan di perusahaan memungkinkan ia untuk membeli apa saja, keculai kasih-sayang suami.

Kesempatan bukan tak pernah data. Dulu, sudah beberapa kali ada yang mau serius dengannya, tetapi demi karer yang diimpikan, ia menolak semua ajakan serius. Kalau kemudian ada hubungan perasaan dengan seseorang, itu sebatas pacaran. Tak lebih. Sampai karier yang diimpikan tercapai; sampai ia tiba-tiba tersadar bahwa usianya sudah tidak terlalu muda lagi; sampai ia merasakan sepinya hidup tanpa suami, sementara orang-orang yang dulu bermaksud serius dengannya, sudah sibuk mengurusi anak-anak mereka. Sekarang, ketika kesadaran itu ada, mencari orang yang mau serius dengannya sangat sulit. Sama sulitnya menaklukkan hatinya ketika ia muda dulu.

Masih banyak cerita-cerita sedih semacam itu. Mereka menunda pernikahan di saat Allah memberi kemudahan. Mereka enggan melaksanaknnya ketika Allah masih memberinya kesempatan karena alasan belum bisa menyelenggarakan walimah yang “wah”. Mereka tetap mengelak, meski terus ada yang mendesak; baik lewat sindiran maupun dorongan yang terang-terangan. Meski ada kerinduan yang tak dapat diingkari, tetapi mereka menundanya karena masih ingin mengumpulkan biaya atau mengejar karier. Ada yang menampik “alasan karier” walau sebenarnya tak jauh berbeda. Seorang akhwat menunda nikah mesti ada yang mengkhitbah karena ingin meraih kesempatan kuliah S-2 (“Tahun depan kan belum tentu ada beasiswa”). Ia mendahulukan pra-sangka bahwa kesempatan kuliah S-2 tak akan datang dua kali, lalu mengorbankan pernikahanyang Rasullah Saw. Telah memperingatkan:

Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) yang engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila tidak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).

Saya tidak tahu apakah ini merupakan hukum sejarah yang digariskan oleh Allah. Ketika orang mempersulit apa yang dimudahkan oleh Allah, mereka akhirnya benar-benar mendapati keadaan yang sulit dan nyaris tak menemukan jalan keluarnya. Mereka menunda-nunda pernikahan tanpa ada alasan syar’i, dan akhirnya mereka benar-benar takut melangkah di saat hati sudah sangat menginginkannya. Atau ada yang sudah benar-benar gelisah, tetapi tak kunjung ada yang mau serius dengannya.

Kadangkala, lingkaran ketakutan itu terus belanjut. Bila di usia-usia dua puluh tahunan mereka menuda nikah karena takut dengan ekonominya yang belum mapan, di usia menjelang tiga puluh hingga sekitar tiga puluh lima berubah lagi masalahnya. Laki-laki sering mengalami sindrom kemapanan (meski wanita juga banyak yang demikian, terutama mendekati usia 30 tahun). Mereka menginginkan pendamping dengan kriteria yang sulit dipenuhi. Seperti hukum kategori, semakin banyak kriteria semakin sedikit yang masuk kategori. Begitu pula dengan kriteria tentang jodoh, ketika kita menetapkan kriteria yang terlalu banyak, akhirnya bahkan tidak ada yang sesuai dengan keinginan kita. Sementara wanita yang sudah berusia sekitar 35 tahun, masalah mereka bukan soal kriteria, tetapi soal apakah ada orang yang mau menikah dengannya. Ketika usia 40-an, ketakutan yang dialami oleh laki-laki sudah berbeda lagi, kecuali bagi mereka yang tetap terjaga hatinya. Jika sebelumnya, banyak kriteria yang dipasang, pada usia 40-an muncul ketakutan apakah dapat mendampingi istri dengan baik. Lebih lebih ketika usia sudah beranjak mendekati 50 tahun, ada ketakutan lain yang mencekam. Ada kekhawatiran jangan-jangan di saat anak masih kecil, ia sudah tak sanggup lagi mencari nafkah. Atau ketika masalah nafkah tak merisaukan (karena tabungan yang melimpah), jangan-jangan ia sudah mati ketika anak-anak masih perlu banyak dinasehati. Bila tak ada iman di hati, ketakutan ini akhirnya melahirkan keputus-asaan. Wallahu A’lam bishawab.

Ya... ya... ya..., kadang kita sendirilah penyebabnya, kita mempersulit apa yang telah Allah mudahkan, sehingga kita menghadapi kesulitan yang tak terbayangkan. Kita memperumit yang Ia sederhanakan, sehingga kita terbelit oleh kerumitan yang tak berujung. Kita menyombongkan atas apa yang tidak ada dalam kekuasaan kita, sehingga kita terpuruk dalam keluh-kesah yang berkepanjangan.

Maka, kalau kesulitan itu kita sendiri penyebabnya, beristighfarlah. Semoga Allah berkenan melapangkan jalan kita dan memudahkan urusan kita. Laa ilaaha illa Anta, subhanaKa inni kuntu minazh-zhalimin.

Berkenaan dengan sikap mempersulit, ada tingkat-tingkatannya. Seorang menolak untuk menika boleh jadi karena matanya disilaukan oleh dunia, sementara agama ia tak mengerti. Belum sampai kepadanya pemahaman agama. Boleh jadi seorang menunda-nunda nikah karena yang datang kepadanya beda harakah, meskipun tak ada yang patut dicela dari agama dan akhlaknya. Boleh jadi ada di antara kita yang belum bisa meresapi keutamaan menyegerakan nikah, sehingga ia tak kunjung melakukannya. Boleh jadi pula ia sangat memahami benar pentingnya bersegera menikah, sudah ada kesiapan psikis maupun ilmu, telah datang kesempatan dari Allah, tetapi... sukunya berbeda, atau sebab-sebab lain yang sama sepelenya.

Ada Yang Tak Bisa Kita Ingkari

Kadang ada perasaan kepada seseorang. Seperti Mughits –seorang sahabat Nabi Saw.- kita selalu menguntit kemana pun Barirah melangkah. Mata kita mengawasi, hati kita mencari-cari dan telinga kita merasa indah setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu begitu kuat bersemayan di dada. Bukan karena kita menenggelamkan diri dalam lautan perasaan, tetapi seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengutip dari Al-Mada’iny, “Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta.”

Perasaan ini kadang mengganggu kita, sehingga tak sanggup berpikir jernih lagi. Kadang membuat kita banyak berharap, sehingga mengabaikan setiap kali ada yang mau serius. Kita sibuk mananti –kadang sampai membuat badan kita kurus kering- sampai batas waktu yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa yakin bahwa dia jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh kita harus dia, tetapi tak ada langkah-langkah pasti yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita tersiksa oleh angan-angan.

Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika rasa sayang itu ada? Inilah yang insya-Allah kita perbincangkan lebih mendalam pada makalah Masih Ada Tempat untuk Cinta. Selebihnya, kita cukupkan dulu pembicaraan itu sampai di sini.

Tuhan, Jangan Biarkan Aku Sendiri

Di atas semua itu, Allah bukakan pintu-pintu-Nya untuk kita. Ketuklah pertolongan-Nya dengan do’a. Di saat engkau merasa tak sanggup menanggung kesendirian, serulah Tuhanmu dengan penuh kesungguhan, “Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian. Dan Engkau adalah sebaik-baik Warits.” (QS. Al-Abiya’: 89).

Rabbi, laa tadzarni fardan wa Anta khairul waritsin.

Ini sesungguhnya adalah do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Zakariya untuk memohon keturunan kepada Allah Ta’ala. Ia memohon kepada Allah untuk menghapus kesendiriannya karena tak ada putra yang bisa menyejukkan mata.

Sebagaimana Nabi Zakariya, rasa sepi itu kita adukkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla semoga Ia hadirkan bagi kita seorang pendamping yang menenteramkan jiwa dan membahagiakan hati. Kita memohon kepada-Nya pendamping yang baik dari sisi-Nya. Kita memasrahkan kepada-Nya apa yang terbaik untuk kita.

Kapan do’a itu kita panjatkan? Kapan saja kita merasa gelisah oleh rasa sepi yang mencekam. Panjatkan do’a itu di saat kita merasa amat membutuhkan hadirnya seorang pendampin; saat hati kita dicekam oleh kesedihan karena tidak adanya teman sejati atau ketika jiwa dipenuhi kerinduan untuk menimang buah hati yang lucu. Panjatkan pula do’a saat hati merasa dekat dengan-Nya; saat dalam perjalan ketika Allah jadikan do’a mustajabah; dan saat-saat mustajabah lainnya.

Saat Jodoh Tak Kunjung Datang (Part I)

Saat Jodoh Tak Kunjung Datang (Part I)
Oleh: M. Fauzil Adhim

Ada saat-saat ketika resah menemukan jawabnya. Ada saat-saat ketika gelisah tak menemukan muaranya kecuali dengan menikah. Di saat kesendirian tak sanggup kita tanggungkan, sementara peristiwa suci itu tak datang-datang juga, ada yang perlu kita renungkan dengan hati yang jernih; “kesendirian yang panjang itu, apakah sebabnya sehingga tak kunjung berakhir?”

Ada yang tak bisa kita jawab, karena semua rahasia ada dalam genggaman-Nya. Tetapi ada satu hal yang bisa kita coba telusuri diam-diam, dengan hati yang tenang dan jiwa yang bersih. Kita mencoba merenung sejenak secara jujur, apakah lambatnya jodoh itu merupakan ujian atas ketakwaan kita yang tinggi kepada-Nya, sebagai teguran atas kekhilafan-kekhilafan -dan bahkan mungkin kesombongan kita– terhadap apa yang diberikan Allah kepada kita, ataukah jodoh sesungguhnya belum saatnya tiba. Bukankah segala sesuatu ada masanya sendiri? Bukankah kematian juga tidak datang pada saat yang sama, usia yang sama dan keadaan yang sama untuk setiap orang?

Cobalah bertanya sejenak pada suara nuranimu, tanpa perlu menitikkan airmata duka. Kalau malam telah lelap, dan suara-suara telah sunyi, renungkanlah dengan jernih apakah jodoh yang tak datang-datang itu untuk menakar keimanan kita kepada-Nya? Apakah jodoh yang tak datang-datang itu sebagai kesempatan dari Allah agar kita menyiapkan bekal yang lebih sempurna untuk memenuhi amanah sebagai istri dan ibu atas anak-anak yang kita lahirkan kelak?

Cobalah untuk bertanya. Cobalah! Cobalah! Dan tahanlah dulu kerisauan itu...

Kadang ia adalah Ujian

Apa yang salah pada Nabi Zakariya? Usianya telah senja, tulang-tulangnya telah lemah, dan kepalanya dipenuhi oleh uban yang memutih. Tetapi di usia yang setua itu, tak ada keturunan. Padahal perjuangan harus ada yang melanjutkan. Seperti yang diberitakan dalam surat Maryam, Nabi Zakariya mengetuk pintu Allah dengan memanjatkan do’a, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, wahai Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul. Maka, anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadjikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 4-6).

Ya, apa yang salah pada Nabi Zakariya? Ia tak pernah kecewa dalam berdo’a. Setiap waktu, ia habiskan untuk memenuhi amanah yang diembankan Allah kepadanya sebagai Nabi dan Rasul. Tetapi inilah sebagian di antara rahasia-rahasia Allah. Ia berikan ujian kepada hamba-hamba-Nya agar dengan itu orang-orang yang mengaku beriman, teruji keimannya; dan orang-orang yang benar-benar mencintai-Nya dapat memperoleh kedudukan yang lebih tinggi di sisi-Nya. Ibarat kita sekolah, ada ujian yang harus kita tempuh ketika kita ingin naik kelas. Sesungguhnya, Allah tidak akan memberikan ujian yang melebihi batas kesanggupan hamba-Nya. Kata Allah:

“...Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melinkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thaalaq:7).

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya...” (QS. Al-Baqarah: 286).

Sesungguhnya, Allah tidak pernah mengabaikan setiap kebaikan hamba-Nya. Mengucap salam adalah kebaikan; sedekah adalah kebaikan; membebaskan tetangga kita dari rasa lapar yang melilit adalah kebaikan; dan bersabar menghadapi ujian merupakan kebaikan yang amat tinggi. Atas kesabaran Nabi Zakariya menghadapi tidak adanya keturunan, Allah turunkan dari sisi-Nya seorang putra yang memiliki kemuliaan sangat tinggi. Seorang yang memiliki hikmah semenjak masih belia, ketika anak-anak lain masih asyik dengan mainannya. Belum pernah Allah ciptakan manusia yang lebih baik darinya.

Allah berfirman:

“Hai Zakariya sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (memperoleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam: 7).

Kelak Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat Yahya putra Zakariya sebagai Nabi. Allah mensifati Yahya –buah kesabaran Nabi Zakariya ini dengan firman-Nya:

Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia seorang yang bertakwa, dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam 12-14).

Inilah karunia tak ternilai bagi Nabi Zakariya. Kerana bersabar atas ujian yang diberikan kepadanya, Allah Ta’ala menganugerahkan keturunan yang menjadi kebaikan sejak hari dilahirkan. Allah mengabarkan, “Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 15).

Apa yang bisa kita catat dari kisah Nabi Zakariya? Ujian melahirkan kemuliaan. Sesungguhnya, sesudah kesulitan ada kemudahan. Dan sesungguhnya akan Allah adakan jalan keluar yang terbaik dari sisi-Nya bagi orang-orang yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman, ”...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan uruan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Pertanyaannya, apakah yang kita hadapi sekarang merupakan ujian dari Allah? Wallahu A’lam bishawab. Saya tidak bisa menjawab. Yang bisa mengetahui adalah diri kita masing-masing. Nurani kita yang dapat meraba. Karena itu, bertanyalah pada hati nuranimu.

Selebihnya, ada beberapa hal yang dapat kita catat. Kalau engkau sudah bersungguh-sungguh menata diri, mempersiapkan hati dan mencari ilmu untuk menikah, tetapi belum datang-datang juga. Kalau engkau sudah menyerahkan segalanya kepada Allah tentang siapa yang akan menjadi pendampingmu. Kalau engkau sudah berusaha dengan sepenuh hati untuk menjemput jodoh, tetapi tetap tak kunjung terjawab kegelisahan itu. Kalau engkau sudah didesak oleh kerinduan sembari di saat yang sama senantiasa menjaga diri. Maka, terlambatnya jodoh datang kepadamu merupakan ujian bagimu.

Teringatlah saya pada Miranda Risang Ayu. Di saat butuh pegangan untuk menguatkan hatinya sebagai mu’allaf, ia berdo’a pasrah kepada Allah. Ia menangis kepada Tuhannya, kiranya Allah karuniakan baginya seorang suami yang dapat menguatkan iman. Tak penting apa pekerjaanya; tukang becak pun tak masalah asal dapat membantu ia menegakkan iman. Ia betul-betul siap menerima asal imannya kepada Allah tetap kokoh.

Inilah bentuk keyakinan kepada Allah. Ada kesabaran di dalamnya. Kelak Allah hadirkan baginya seorang suami seperti yang ia harapkan; seorang suami yang membantu mengokohkan imannya. Seorang suami yang dapat menjadi teman diskusi, bertukar pikiran dan berbagi wawasan sekaligus sahabat dalam menegakkan iman. Ternyata, yang Allah karuniakan kepadanya melebihi do’a yang ia panjatkan.

Kisah ini sekali lagi mengajarkan kepada kita tentang satu hal: obatnya menghadapi ujian adalah sabar. Sabar dalam menanti takdir. Sabar dalam berusaha. Sabar dalam berjuang. Sabar dalam berdo’a. Dan sabar dalam memegangi kebenaran. Semoga dengan demikian, kita termasuk orang-orang yang mendapat pertolongan Allah. Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan sesungguhnya dalam setiap perkara, selalu ada bisikan-bisikan ke arah yang sesat dan ke arah takwa kepada-Nya.

Allah berfirman, “Maka diilhamkan kepada jiwa fujur dan takwa. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya, merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 8-10).

Wallahu A’lam bishawab.

3.01.2005

Kupinang Engkau Dengan Hamdalah

Kupinang Engkau Dengan Hamdalah

Mohammad Fauzil Adhim

Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah diciptakannya pasangan-pasanganmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung padanya. Dan Allah menjadikan di antara kalian perasaan tenteram dan kasih sayang. Pada yang demikian ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Ketika tiba masa usia aqil baligh, maka perasaan ingin memperhatikan dan diperhatikan lawan jenis begitu bergejolak. Banyak perasaan aneh dan bayang-bayang suatu sosok berseliweran tak karuan. Kadang bayang-bayang itu menjauh tapi kadang terasa amat dekat. Kadang seorang pemuda bisa bersikap acuh pada bayang-bayang itu tapi kadang terjebak dan menjadi lumpuh. Perasaan sepi tiba-tiba menyergap ke seluruh ruang hati. Hati terasa sedih dan hidup terasa hampa. Seakan apa yang dilakukannya jadi sia-sia. Hidup tidak bergairah. Ada setitik harapan tapi berjuta titik kekhawatiran justru mendominasi.

Perasaan semakin tak menentu ketika harapan itu mulai mengarah kepada lawan jenis. Semua yang dilakukannya jadi serba salah. Sampai kapan hal ini berlangsung? Jawabnya ada pada pemuda itu sendiri. Kapan ia akan menghentikan semua ini. Sekarang, hari ini, esok, atau tahun- tahun besok. Semakin panjang upaya penyelesaian dilakukan yang jelas perasaan sakit dan tertekan semakin tak terperikan. Sebaliknya semakin cepat / pendek waktu penyelesaian diupayakan, kebahagiaan & kegairahan hidup segera dirasakan. Hidup menjadi lebih berarti & segala usahanya terasa lebih bermakna.

Penyelesaian apa yang dimaksud? Menikah! Ya menikah adalah alat solusi untuk menghentikan berbagai kehampaan yang terus mendera. Lantas kapan? Bilakah ia bisa dilaksanakan? Segera! Segera di sini jelas berbeda dengan tergesa- gesa. Untuk membedakan antara segera dengan tergesa- gesa, bisa dilihat dari dua cara :

Pertama, tanda-tanda hati. Orang yang mempunyai niat tulus, kata Imam Ja'far, adalah dia yang hatinya tenang, sebab hati yang tenang terbebas dari pemikiran mengenai hal-hal yang dilarang, berasal dari upaya membuat niat murni untuk Allah dalam segala perkara. Kalau menyegerakan menikah karena niat yang jernih, Insya Allah hati akan merasakan sakinah, yaitu ketenangan jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kita merasa yakin, meskipun harapan & kekhawatiran meliputi dada. Lain lagi dengan tergesa-gesa. Ketergesaan ditandai oleh perasaan tidak aman & hati yang diliputi kecemasan yang memburu.

Kedua, tanda-tanda perumpamaan. Ibarat orang bikin bubur kacang hijau, ada beberapa bahan yang diperlukan. Bahan paling pokok adalah gula & kacang hijau. Jika gula & kacang hijau dimasukkan air kemudian direbus, maka akan didapati kacang hijau tidak mengembang. Ini namanya tergesa-gesa. Kalau gula baru dimasukkan setelah kacang hijaunya mekar ini namanya menyegerakan. Tapi kalau lupa, tidak segera memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar cukup lama orang akan kehilangan banyak zat gizi yang penting.

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda : "Tiga orang yang selalu diberi pertolongan Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar & seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya" (HR Thabrani). Banyak jalan yang dapat menghantarkan orang kepada peminangan & pernikahan. Banyak sebab yang mendekatkan dua orang yang saling jauh menjadi suami istri yang penuh barakah & diridhai Allah. Ketika niat sudah mantap & tekad sudah bulat, persiapkan hati untuk melangkah ke peminangan. Dianjurkan, memulai lamaran dengan hamdalah & pujian lainnya kepada Allah SWT. Serta Shalawat kepada Rasul-Nya. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : "Setiap perkataan yang tidak dimulai dengan bacaan hamdalah, maka hal itu sedikit barakahnya (terputus keberkahannya)" (HR Abu Daud, Ibnu Majah & Imam Ahmad).

Setelah peminangan disampaikan, biarlah pihak wanita & wanita yang bersangkutan untuk mempertimbangkan. Sebagian memberikan jawaban segera, sebelum kaki bergeser dari tempat berpijaknya, sebab menikah mendekatkan kepada keselamatan akhirat, sedang calon yang datang sudah diketahui akhlaqnya, sebagian memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa memberi kepastian apakah pinangan diterima atau ditolak, karena pernikahan bukan untuk sehari dua hari.

Apapun, serahkan kepada keluarga wanita untuk memutuskan. Mereka yang lebih tahu keputusan apa yang terbaik bagi anaknya. Anda harus husnudzan pada mereka. Bukankah ketika meminang wanita berarti anda mempercayai wanita yang diharapkan oleh anda beserta keluarganya.

Keputusan apapun yang mereka berikan, sepanjang didasarkan atas musyawarah yang lurus, akan baik dan Insya Allah memberi akibat yang baik bagi anda. Tidak kecewa orang yang istikharah & tidak merugi orang yang musyawarah. Maka apapun hasil musyawarah, sepanjang dilakukan dengan baik, akan membuahkan kebaikan. Sebuah keputusan tidak bisa disebut buruk atau negatif, jika memang didasarkan kepada musyawarah yang memenuhi syarat, hanya karena tidak memberi kesempatan kepada anda untuk menjadi anggota keluarga mereka. Jika niat anda memang untuk silaturrahim, bukankah masih tersedia banyak peluang untuk menyambung?

Anda telah meminangnya dengan hamdalah, anda telah dimampukan datang oleh Allah Yang Maha Besar. Dia-lah Yang Maha Lebih Besar. Semuanya kecil. Ada pelajaran yang sangat berharga dari Bilal bin Rabbah tentang meminang. Ketika ia bersama Abu Ruwaihah menghadap kabilah Khaulan, Bilal mengemukakan : "Jika pinangan kami anda terima, kami ucapkan Alhamdulillah. Dan kalau anda menolak, maka kami ucapkan Allahu Akbar." Maka, kalau pinangan yang anda sampaikan ditolak, agungkan Allah, semoga anda tetap berbaik sangka kepada Allah & juga kepada keluarganya. Sebab bisa jadi, penolakan merupakan jalan pensucian jiwa dari kedzaliman diri sendiri, bisa jadi penolakan merupakan proses untuk mencapai kematangan, kemantapan & kejernihan niat. Sementara ada banyak hal yang dapat mengotori niat. Bisa jadi Allah hendak mengangkat derajat anda, kecuali anda justru malah merendahkan diri sendiri. Tapi hati perlu diperiksa, jangan-jangan perasaan itu muncul karena ujub.

Kekecewaan, mungkin saja timbul. Barangkali ada perasaan yang perih, barangkali juga ada yang merasa kehilangan rasa percaya diri saat itu. Ini merupakan reaksi psikis yang wajar, kecewa adalah perasaan yang manusiawi, tetapi ia harus diperlakukan dengan cara yang tepat agar ia tidak menggelincirkan ke jurang kenistaan yang sangat gelap. Kecewa memang pahit. Orang sering tidak tahan menanggung rasa kecewa, mereka berusaha membuang jauh-jauh sumber kekecewaan. Sekilas nampak tidak ada masalah, tetapi setiap saat berada dalam kondisi rawan. Perasaan itu mudah bangkit lagi dengan rasa sakit yang lebih perih. Dan yang demikian tidak dikehendaki Islam. Islam menghendaki kekecewaan itu menghilang perlahan-lahan secara wajar. Sehingga kita bisa mengambil jarak dari sumber kekecewaan dengan tidak kehilangan obyektivitas & kejernihan hati, kita menjadi lebih tegar, meskipun proses yang dibutuhkan untuk menghapus kekecewaan lebih lama.

Kalau anda merasa kecewa, periksalah niat anda. Dibalik yang dianggap baik, mungkin ada niat yang tidak lurus. Periksalah motif-motif yang melintas dalam batin. Selama peminangan hingga saat menunggu jawaban. Kemudian biarkan hati memproses secara wajar sampai menemukan kembali ketenangan secara mantap.

Tetapi kalau jawaban yang diberikan oleh keluarga wanita sesuai harapan, berbahagialah sejenak. Bersyukurlah. Insya Allah kesendirian yang dialami dengan menanggung rasa sepi sebentar lagi akan menghapus kepenatan selama di luar rumah. Insya Allah sebentar lagi.

Tunggulah beberapa saat. Setelah tiba masanya, halal bagi anda untuk melakukan apa saja yang menjadi hak anda bersamanya. Akan tiba masanya anda merasakan kehangatan cintanya. Kehangatan cinta wanita yang telah mempercayakan kesetiaannya kepada anda. Setelah tiba masanya, halal bagi anda untuk menemukan pangkuannya ketika anda risau.

Selama menunggu, ada kesempatan untuk menata hati. Melalui pernikahan Allah memberikan banyak keindahan & kemuliaan. Wanita boleh menawarkan Islam memberikan penghormatan yang suci kepada niat & ikhtiar untuk menikah. Nikah adalah masalah kehormatan agama, bukan sekedar legalisasi penyaluran kebutuhan biologis dengan lawan jenis. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kehormatan agamanya, dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Dan Khadijah r.a atas teladan bagi wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri.

Sikap menawarkan diri menunjukkan ketinggian akhlaq & kesungguhan untuk mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah & untuk mendapatkan pahala-Nya, Allah pasti mencatatnya sebagai kemuliaan & mujahadah yang suci. Tidak peduli tawarannya diterima atau ditolak, terutama kalau ia tidak mempunyai wali. Insya Allah, jika sikap menawarkan diri dilakukan dengan ketinggian sopan santun, tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang maslahat. Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan yang mendalam pasti akan meninggikan penghormatan seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah & tidak memiliki kehormatan, kecuali sekedar apa yang disangkanya sebagai kebaikan.

Imam Bukhari menceritakan cerita dari Anas r.a ada seorang wanita yang datang menawarkan diri kepada Rasulullah SAW dan berkata : "Ya Rasulullah! Apakah baginda membutuhkan daku?" Putri Anas yang hadir & mendengarkan perkataan wanita itu mencela sang wanita yang tidak punya harga diri & rasa malu, "Alangkah sedikitnya rasa malunya, sungguh memalukan, sungguh memalukan." Anas berkata kepada putrinya : "Dia lebih baik darimu, Dia senang kepada Rasulullah SAW lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau!" (HR Bukhari)