7.26.2005

Berani Menikah

Otak kiri terlalu rasional, sedangkan otak kanan irasional. Semakin orang pintar terkadang semakin rasional. Agar punya pengalaman yang unik dalam pernikahan, menikahlah dengan dengan yang beda suku dan daerah asal. Karena akan sangat unik. Kalau terjadi pertengkaran tidak akan lari ke mertua. Dengan menikah jauh itu, minimal orang semiskin-miskinnya pun akan naik bis antar kota antar propinsi. Jangan terlalu rumit-rumit menikah itu, permudahlah.

Hati-hati yang uangnya terlalu banyak dan pendidikannya terlalu tinggi, biasanya perhitungannya terlalu matematis. Bila menikah itu tidak cocok justru itu menarik karena ada tantangannya. Bila menikah itu kurang cinta, justru itu luar biasa paling menarik. Karena banyak yang pacaran lama tapi akhirnya putus.

Nikah itu tinggal bersabar dan bersyukur. Jangan terlalu banyak rumus dalam pernikahan. Maka jika ingin siap menikah, sabarnya harus sangat bagus dan syukurnya pun harus sangat bagus. Orang yang sangat bagus adalah orang yang dalam posisi sabarnya sangat baik dan syukurnya sangat baik, karena dia akan bersabahat. Karena nanti masalah akan selalu ada. Kalau sabarnya sangat baik, syukurnya sangat kurang, nanti pasif terhadap masalah. Kalau sabarnya sangat kurang, syukurnya sangat baik, nanti pasif pula terhadap masalah. Sedangkan, bila sabarnya sangat kurang syukurnya sangat kurang, maka reaktif terhadap masalah.

Bila kita siap menikah mari kita nikmati segala kekurangan pasangan kita, karena latar belakangnya yang berbeda. Yang penting kita tingkatkan rasa sabar kita dan rasa syukur kita. Tidak ada masalah itu.Tidak rumit-rumit amat, biasa saja. Bila kita memikirkan menikah itu susah, maka susah betulan. Bila kita memikirkan bahwa menikah itu mudah, maka Alloh akan memudahkannya, sebagaimana hadis qudsi "Alloh itu sebagaimana persangkaan hamba-Nya".

Keberanian itu penting. Banyak laki-laki yang minder tidak berani karena tidak ada pekerjaan, maka pihak wanita jangan terlalu menonjolkan optimalisasi dirinya. Dan kaum wanita pun harus berani menyatakan. Permasalahannya adalah yang penting gerak, bukan hanya siap-siap saja.Oleh karena itu proklamasikan diri kita bahwa kita adalah orang yang pemberani untuk menikah.

~Oleh: Masrukhul Amri, disampaikan pada acara Bimbingan Pranikah "MenitiJalan Menuju Keluarga Sakinah", pada hari Ahad, 23/2, di PondokPesantrenDaarut Tauhiid, Bandung.~

7.20.2005

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Tulisan ini sepertinya ditujukan penulis untuk Muslimah, tapi tidak salahnya juga untuk para Calon Suami juga membacanya :)
---
Jodoh adalah problema serius, terutama bagi para Muslimah. Kemana pun mereka melangkah, pertanyaan-pertanyaan "kreatif" tiada henti membayangi. Kapan aku menikah? Aku rindu seorang pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita muda menggendong bayi, kapan giliranku dipanggil ibu? Aku jadi ragu, benarkah aku punya jodoh? Atau jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?

Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam realita. Kebanyakan orang ketika berbicara soal jodoh selalu bertolak dari sebuah gambaran ideal tentang kehidupan rumah tangga. Otomatis dia lalu berpikir serius tentang kriteria calon idaman. Nah, di sinilah segala sedu-sedan pembicaraan soal jodoh itu berawal. Pada mulanya, kriteria calon hanya menjadi 'bagian masalah', namun kemudian justru menjadi inti permasalahan itu sendiri.

Di sini orang berlomba mengajukan "standardisasi" calon: wajah rupawan, berpendidikan tinggi, wawasan luas, orang tua kaya, profesi mapan, latar belakang keluarga harmonis, dan tentu saja kualitas keshalihan. Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya ringan, "Apa salahnya? Ikhtiar tidak apa, kan?" Memang, ada juga jawaban lain, "Saya tidak pernah menuntut. Yang penting bagi saya calon yang shalih saja." Sayangnya, jawaban itu diucapkan ketika gurat-gurat keriput mulai menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar senyum pun mahal.

Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh lebih cepat didapatkan oleh mereka yang memiliki sifat superior (serbaunggul). Memperhitungkan kriteria calon memang sesuai sunnah, namun kriteria tidak pernah menjadi penentu sulit atau mudahnya orang menikah. Pengalaman riil di lapangan kerap kali menjungkirbalikkan prasangka-prasangka kita selama ini.

Jodoh, jika direnungkan, sebenarnya lebih bergantung pada kedewasaan kita. Banyak orang merintih pilu, menghiba dalam doa, memohon kemurahan Allah, sekaligus menuntut keadilan-Nya. Namun prestasi terbaik mereka hanya sebatas menuntut, tidak tampak bukti kesungguhan untuk menjemput kehidupan rumah tangga.

Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu indah, bahkan lebih indah dari film-film picisan ala bintang India, Sahrukh Khan. Mereka tidak memandang bahwa kehidupan keluarga adalah arena perjuangan, penuh liku dan ujian, dibutuhkan napas kesabaran panjang, kadang kegetiran mampir susul-menyusul. Mereka hanya siap menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan diri untuk berletih-letih membina keluarga.

Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan kehidupan individu, hanya dalam soal ujian dan beban jauh lebih berat. Jika seseorang masih single, lalu dibuai penyakit malas dan manja, kehidupan keluarga macam apa yang dia impikan?

Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan generasi muda kita menjadi manusia-manusia yang rapuh. Mereka sangat pakar dalam memahami sebuah gambar kehidupan yang ideal, namun lemah nyali ketika didesak untuk meraih keidealan itu dengan pengorbanan. Jika harus ideal, mereka menuntut orang lain yang menyediakannya. Adapun mereka cukup ongkang-ongkang kaki. Kesulitan itu pada akhirnya kita ciptakan sendiri, bukan dari siapa pun.

Bagaimana mungkin Allah akan memberi nikmat jodoh, jika kita tidak pernah siap untuk itu? "Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sekadar sesuai kesanggupannya." (QS Al Baqarah, 286). Di balik fenomena "telat nikah" sebenarnya ada bukti-bukti kasih sayang Allah SWT.

Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh itu akan datang tanpa harus dirintihkan. Kala itu hati seseorang telah bulat utuh, siap menerima realita kehidupan rumah tangga, manis atau getirnya, dengan lapang dada. Jangan pernah lagi bertanya, mana jodohku? Namun bertanyalah, sudah dewasakah aku?

Wallahu a'lam bisshawaab
---
~sumber : Republika Online www.republika.co.id~

7.10.2005

Puisi Cinta Untuk Semua!

Allahu Rabbi aku minta izin
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Jangan biarkan cinta untuk-Mu berkurang
Hingga membuat lalai akan adanya Engkau

Allahu Rabbi
Aku punya pinta
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Penuhilah hatiku dengan bilangan cinta-Mu yang tak terbatas
Biar rasaku pada-Mu tetap utuh

Allahu Rabbi
Izinkanlah bila suatu saat aku jatuh cinta
Pilihkan untukku seseorang yang hatinya penuh dengan kasih-Mu
dan membuatku semakin mengagumi-Mu

Allahu Rabbi
Bila suatu saat aku jatuh hati
Pertemukanlah kami
Berilah kami kesempatan untuk lebih mendekati cinta-Mu

Allahu Rabbi
Pintaku terakhir adalah seandainya kujatuh hati
Jangan pernah Kau palingkan wajah-Mu dariku
Anugerahkanlah aku cinta-Mu...
Cinta yang tak pernah pupus


~kuambil dari http://www.myquran.org/~