4.22.2005

TABAH MENGHADAPI MUSIBAH

Allah telah menetapkan takdir dan ajal seluruh makhluk-Nya, mengatur dan menentukan segala amal perbuatan serta tindak-tanduk mereka. Lalu Allah membagi-bagikan rezeki dan harta duniawi kepada mereka. Allah menciptakan kehidupan dan kematian sebagai ujian, siapa diantara mereka yang terbaik amalannya. Allah juga menjadikan iman kepada qodho dan takdir-Nya sebagai salah satu rukun iman. Setiap sesuatu yang bergerak atau yang berdiam dilangit dan dibumi, pasti akan menuruti kehendak dan keinginan Allah.

Dunia sarat dengan kesulitan dan kesusahan; diciptakan secara fitrah untuk dipenuhi dengan beban dan ancaman, aral rintangan serta berbagai cobaan. Tak ubahnya dingin dan panas, yang memang harus dirasakan oleh para hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)

Berbagai musibah itu adalah batu ujian, untuk menentukan siapa diantara hamba-Nya yang benar dan yang tidak benar. Allah Ta’ala berfirman: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”(Al-Ankabut:2)

Jiwa manusia itu hanya dapat suci, setelah ditempa. Ujian dan cobaan, akan memperlihatkan kesejatian seseorang. Ibnul Jauzi mengungkapkan: “Orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan abadi tanpa ujian dan cobaan, berarti ia belum mengenal ajaran Islam dan tidak mengenal arti pasrah diri kepada Allah.”

Setiap orang pasti merasakan susah, mukmin maupun kafir. Hidup ini memang dibangun diatas berbagai kesulitan dan marabahaya. Maka janganlah seseorang membayangkan bahwa dirinya akan terbebas dari kesusahan dan cobaan. Cobaan adalah lawan dari tujuan dan memang bertentangan dengan angan-angan dan kesenangan menikmati kelezatan hidup. Setiap orang pasti merasakannya, walau dengan ukuran yang berbeda, sedikit atau banyak. Seorang mukmin diberi ujian sebagai tempaan baginya, bukan siksaan. Terkadang cobaan itu ada dalam kesenangan, terkadang juga ada dalam kesusahan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran …”(Al-A’raaf: 168).

Satu hal yang dibenci kadang mendatangkan kesenangan, satu hal yang disukai kadang mendatangkan kesusahan. Janganlah merasa aman dengan kesenangan, karena bisa saja ia menimbulkan kemudharatan. Janganlah merasa putus asa karena kesulitan, karena bisa jadi akan mendatangkan kesenangan. Allah Ta’ala berfirman, artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(Al-Baqarah:216).

Segala cobaan itu ada batasnya disisi Allah. Jangan mengucapkan kata-kata makian, karena satu kata yang mengalir dari lidah, dapat membinasakan seseorang. Seorang mukmin yang kuat akan tegar menghadapi beban berat. Hatinya tidak akan berubah dan lisannya tidak akan mengutuk. Redamlah musibah itu dengan mengingat janji pahala dan kemudahan dari Allah, sehingga cobaan itu berlalu tanpa kita mengutukinya. Orang-orang berakal selalu menunjukkan ketegaran dalam menghadapi musibah, agar mereka tidak mendapatkan ejekan dari musuh-musuh mereka. Karena bila mereka menampakkan musibah itu, para musuh mereka akan merasa senang dan gembira. Sebaliknya menutup-nutupi musibah dan derita kelaparan adalah sifat orang-orang mulia. Ketabahan akan membendung bencana.

Demikian cepatnya bencana itu berlalu, bila dihadapi dengan ketabahan. Paling kita hanya harus tabah menghadapi hari-hari yang pendek dalam hidup kita. Orang-orang yang binasa mengalami kebinasaan mereka hanya karena mereka tidak memiliki ketabahan. Orang-orang yang tabah, akan mendapatkan pahala terbaik Firman Allah: “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl:96).

Dan firman Allah, artinya:”Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang kami rizqikan kepada mereka, mereka nafkahkan.”(Al-Qashash:54).

Allah tidak pernah menahan sesuatu untukmu, wahai orang yang tertimpa musibah, melainkan karena Allah akan memberimu sesuatu yang lain. Allah hanya mengujimu, untuk memberi keselamatan kepadamu. Allah hanya memberimu cobaan, untuk membersihkan dirimu.

Selama masih ada umur, rezeki pasti akan datang. Allah berfirman: “ Tidak ada yang melata dibumi ini melainkan rezekinya ada disisi Allah.”(Huud:6).

Bila dengan kebijaksanaan-Nya, Allah menutup sebagian rezeki, pasti Allah akan membukakan pinti rezeki yang lain yang lebih bermanfaat. Cobaan, justeru akan mengangkat derajat orang-orang shalih dan meningkatkan pahala mereka.

Shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash mengungkapkan: “Aku pernah bertanya,”Wahai rasulullah! Siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab:”Para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian yang sesudah mereka secara berturut-turut menurut tingkat keshalihannya. Seseorang akan diberi ujian sesuai dengan kadar agamanya. Bila ia kuat, akan ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan dimuka bumi ini tanpa dosa sedikitpun.” (HR Bukhary).

Seorang ulama mengungkapkan: “Orang yang diciptakan untuk masuk Surga, pasti akan merasakan banyak kesulitan. Musibah yang sesungguhnya adalah yang menimpa agama seseorang. Sementara musibah-musibah selain itu merupakan jalan keselamatan baginya. Ada yang berfungsi meningkatkan pahala, ada yang menjadi pengampun dosa. Orang yang benar-benar tertimpa merana adalah mereka yang terhalang dari mendapatkan pahala.

Tidak usah risau dengan hilangnya sebagian dunia. Karena keberadaannya hanyalah satu kejadian, membicarakan dunia justeru menimbulkan kesedihan, jalan-jalan untuk mendapatkannya sarat dengan duka. Dalam mencari dunia, manusia akan tersiksa sebatas rasa dukanya. Orang yang senang mendapatkan dunia pada hakikatnya adalah orang yang sedih. Berbagai kepedihan bermunculan dari kenikmatan dunia. Berbagai kesedihan justeru lahir dari kesenangan dunia.

Shahabat Abu Darda’ menyatakan:”Di antara bentuk kehinaan dunia dihadapan Allah adalah bahwa manusia berbuat maksiat selama ia di dunia, dan ia hanya bisa menggapai apa yang ada disisi Allah dengan meninggalkan dunia. Maka hendaknya engkau menyibukkan diri dengan hal yang lebih berguna bagimu untuk mengambil kembali yang mungkin hilang darimu, yakni dengan memperbaiki kekeliruan, memaafkan kesalahan orang, dan mendekati pintu Ar-Rabb. Dengan itu, engkau akan melihat betapa cepatnya musibah yang menimpamu itu menghilang. Kalau bukan karena kesusahan, engkau tidak bisa mengharapkan saat-saat senang. Hilangkan hasrat terhadap yang menjadi milik orang, niscaya engkau menjadi orang yang terkaya. Jangan berputus asa, karena itu membawa kehinaan. Ingatlah ni’mat Allah yang banyak kepadamu. Tepislah segala kesedihan dengan ridla terhadap takdir dan dengan shalat di malam yang panjang. Bila sudah habis malam, masih ada subuh yang datang menjelang. Akhir kesedihan adalah awal kebahagiaan. Masa tidak akan berdiam dalam satu kondisi, namun terus berganti. Segala kesulitan, pasti akan berangsur hilang. Jangan putus asa hanya karena musibah yang datang bertubi-tubi. Satu kesulitan, akan dikalahkan oleh dua kemudahan. Merunduklah kepada Allah, pasti kesulitanmu akan sirna selekasnya. Setiap orang yang penuh dengan ketabahan, pasti akan mendapatkan jalan keluar.” Wallahu A’lam.


~(Dari buletin Darul Qasim, Riyadh, “ila ahlil masa’ib wal ahzan”, petikan khutbah Syaikh Dr.Abdul Muhsin Al-Qasim – imam dan khatib di Masjid Nabawi-, Abu Umar Basyir Al-Maidani).~

No comments: