3.04.2005

Saat Jodoh Tak Kunjung Datang (Part I)

Saat Jodoh Tak Kunjung Datang (Part I)
Oleh: M. Fauzil Adhim

Ada saat-saat ketika resah menemukan jawabnya. Ada saat-saat ketika gelisah tak menemukan muaranya kecuali dengan menikah. Di saat kesendirian tak sanggup kita tanggungkan, sementara peristiwa suci itu tak datang-datang juga, ada yang perlu kita renungkan dengan hati yang jernih; “kesendirian yang panjang itu, apakah sebabnya sehingga tak kunjung berakhir?”

Ada yang tak bisa kita jawab, karena semua rahasia ada dalam genggaman-Nya. Tetapi ada satu hal yang bisa kita coba telusuri diam-diam, dengan hati yang tenang dan jiwa yang bersih. Kita mencoba merenung sejenak secara jujur, apakah lambatnya jodoh itu merupakan ujian atas ketakwaan kita yang tinggi kepada-Nya, sebagai teguran atas kekhilafan-kekhilafan -dan bahkan mungkin kesombongan kita– terhadap apa yang diberikan Allah kepada kita, ataukah jodoh sesungguhnya belum saatnya tiba. Bukankah segala sesuatu ada masanya sendiri? Bukankah kematian juga tidak datang pada saat yang sama, usia yang sama dan keadaan yang sama untuk setiap orang?

Cobalah bertanya sejenak pada suara nuranimu, tanpa perlu menitikkan airmata duka. Kalau malam telah lelap, dan suara-suara telah sunyi, renungkanlah dengan jernih apakah jodoh yang tak datang-datang itu untuk menakar keimanan kita kepada-Nya? Apakah jodoh yang tak datang-datang itu sebagai kesempatan dari Allah agar kita menyiapkan bekal yang lebih sempurna untuk memenuhi amanah sebagai istri dan ibu atas anak-anak yang kita lahirkan kelak?

Cobalah untuk bertanya. Cobalah! Cobalah! Dan tahanlah dulu kerisauan itu...

Kadang ia adalah Ujian

Apa yang salah pada Nabi Zakariya? Usianya telah senja, tulang-tulangnya telah lemah, dan kepalanya dipenuhi oleh uban yang memutih. Tetapi di usia yang setua itu, tak ada keturunan. Padahal perjuangan harus ada yang melanjutkan. Seperti yang diberitakan dalam surat Maryam, Nabi Zakariya mengetuk pintu Allah dengan memanjatkan do’a, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, wahai Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul. Maka, anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadjikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 4-6).

Ya, apa yang salah pada Nabi Zakariya? Ia tak pernah kecewa dalam berdo’a. Setiap waktu, ia habiskan untuk memenuhi amanah yang diembankan Allah kepadanya sebagai Nabi dan Rasul. Tetapi inilah sebagian di antara rahasia-rahasia Allah. Ia berikan ujian kepada hamba-hamba-Nya agar dengan itu orang-orang yang mengaku beriman, teruji keimannya; dan orang-orang yang benar-benar mencintai-Nya dapat memperoleh kedudukan yang lebih tinggi di sisi-Nya. Ibarat kita sekolah, ada ujian yang harus kita tempuh ketika kita ingin naik kelas. Sesungguhnya, Allah tidak akan memberikan ujian yang melebihi batas kesanggupan hamba-Nya. Kata Allah:

“...Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melinkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thaalaq:7).

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya...” (QS. Al-Baqarah: 286).

Sesungguhnya, Allah tidak pernah mengabaikan setiap kebaikan hamba-Nya. Mengucap salam adalah kebaikan; sedekah adalah kebaikan; membebaskan tetangga kita dari rasa lapar yang melilit adalah kebaikan; dan bersabar menghadapi ujian merupakan kebaikan yang amat tinggi. Atas kesabaran Nabi Zakariya menghadapi tidak adanya keturunan, Allah turunkan dari sisi-Nya seorang putra yang memiliki kemuliaan sangat tinggi. Seorang yang memiliki hikmah semenjak masih belia, ketika anak-anak lain masih asyik dengan mainannya. Belum pernah Allah ciptakan manusia yang lebih baik darinya.

Allah berfirman:

“Hai Zakariya sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (memperoleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam: 7).

Kelak Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat Yahya putra Zakariya sebagai Nabi. Allah mensifati Yahya –buah kesabaran Nabi Zakariya ini dengan firman-Nya:

Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia seorang yang bertakwa, dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam 12-14).

Inilah karunia tak ternilai bagi Nabi Zakariya. Kerana bersabar atas ujian yang diberikan kepadanya, Allah Ta’ala menganugerahkan keturunan yang menjadi kebaikan sejak hari dilahirkan. Allah mengabarkan, “Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 15).

Apa yang bisa kita catat dari kisah Nabi Zakariya? Ujian melahirkan kemuliaan. Sesungguhnya, sesudah kesulitan ada kemudahan. Dan sesungguhnya akan Allah adakan jalan keluar yang terbaik dari sisi-Nya bagi orang-orang yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman, ”...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan uruan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Pertanyaannya, apakah yang kita hadapi sekarang merupakan ujian dari Allah? Wallahu A’lam bishawab. Saya tidak bisa menjawab. Yang bisa mengetahui adalah diri kita masing-masing. Nurani kita yang dapat meraba. Karena itu, bertanyalah pada hati nuranimu.

Selebihnya, ada beberapa hal yang dapat kita catat. Kalau engkau sudah bersungguh-sungguh menata diri, mempersiapkan hati dan mencari ilmu untuk menikah, tetapi belum datang-datang juga. Kalau engkau sudah menyerahkan segalanya kepada Allah tentang siapa yang akan menjadi pendampingmu. Kalau engkau sudah berusaha dengan sepenuh hati untuk menjemput jodoh, tetapi tetap tak kunjung terjawab kegelisahan itu. Kalau engkau sudah didesak oleh kerinduan sembari di saat yang sama senantiasa menjaga diri. Maka, terlambatnya jodoh datang kepadamu merupakan ujian bagimu.

Teringatlah saya pada Miranda Risang Ayu. Di saat butuh pegangan untuk menguatkan hatinya sebagai mu’allaf, ia berdo’a pasrah kepada Allah. Ia menangis kepada Tuhannya, kiranya Allah karuniakan baginya seorang suami yang dapat menguatkan iman. Tak penting apa pekerjaanya; tukang becak pun tak masalah asal dapat membantu ia menegakkan iman. Ia betul-betul siap menerima asal imannya kepada Allah tetap kokoh.

Inilah bentuk keyakinan kepada Allah. Ada kesabaran di dalamnya. Kelak Allah hadirkan baginya seorang suami seperti yang ia harapkan; seorang suami yang membantu mengokohkan imannya. Seorang suami yang dapat menjadi teman diskusi, bertukar pikiran dan berbagi wawasan sekaligus sahabat dalam menegakkan iman. Ternyata, yang Allah karuniakan kepadanya melebihi do’a yang ia panjatkan.

Kisah ini sekali lagi mengajarkan kepada kita tentang satu hal: obatnya menghadapi ujian adalah sabar. Sabar dalam menanti takdir. Sabar dalam berusaha. Sabar dalam berjuang. Sabar dalam berdo’a. Dan sabar dalam memegangi kebenaran. Semoga dengan demikian, kita termasuk orang-orang yang mendapat pertolongan Allah. Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan sesungguhnya dalam setiap perkara, selalu ada bisikan-bisikan ke arah yang sesat dan ke arah takwa kepada-Nya.

Allah berfirman, “Maka diilhamkan kepada jiwa fujur dan takwa. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya, merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 8-10).

Wallahu A’lam bishawab.

No comments: