3.07.2005

Tentang Cinta di Rumah Kita

In brief

M Fauzil Adhim

Sakinah Mawaddah Wa rahmah

Seperti kata Linda J. Waite, penulis buku Selamat Menempuh Hidup Baru (Qanita, Bandung), pernikahan yang hanya meneguhkan cinta dua orang akan mudah pudar. Perlu ada ikatan yang lebih besar, lebih suci, sehingga dalam pernikahan akan menyemai cinta yang menghidupkan jiwa. Cinta yang meredakan gejolak-gejolak jiwa, akan tumbuh hadir menyertai perkawinan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu dari jenismu sendiri istri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum:21).

Sakinah hadir dengan sendirinya sebagai anugerah dari Allah yang menyertai setiap pernikahan. Ia tak perlu menjadi tujuan. Kelau kemudian tak ada sakinah dalam rumah tangga kita, ada yang perlu kita periksa dalam niat dan tujuan kita menikah, serta bagaimana kita merawatnya. Mawaddah wa rahmah –cinta yang bergelora dan kasih yang tulus- menilik ayat tadi akan ja’ala (diadakan, dijadikan) oleh Allah kepada sebagian hamba-Nya.

Mawaddah –berasal dari kata wudd- adalah cinta yang bergelora. Cinta yang utopis. Cinta yang membakar semangat sehingga menguatkan orang-orang yang lemah, menjadikan bersemangat orang-orang yang lemah harapan, menumbuhkan optimisme pada orang-orang yang jiwanya merasa tak berdaya. Cinta seperti inilah yang membuat kita tetap mampu tersenyum lebar meskipun perut terasa lapar. Allah Ta’ala akan akan tanamkan pada hati kita wudd apabila kita menegakkan iman dan amal shalih. Allah berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal-shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa cinta (wudd).” (QS. Maryam : 96).

Elaine N. Aron, penulis buku The Highly Sensitive Person in Love menunjukkan bahwa yang dapat memelihara cinta dalam perkawinan bukanlah kesamaan karakter, kesamaan hobi dan bukan pula rasa cinta yang mereka bawa sebelum memasuki perkawinan. Tetapi bagaimana mereka menjadikan perkawinannya sebagai sesuatu yang bersifat spiritual. Sebanyak apa pun perbedaan antara Anda dan istri atau suami Anda, jika diikat oleh ruh yang sama, maka seperti pasukan, Anda akam membentuk bariasan yang rapat, yang solid, yang kompak. Al-arwahu junudun mujannadah. (Sesungguhnya) ruh-ruh itu seperti pasukan yang berbaris (he... hm... kalau yang ini bukan dari Elaine N. Aron).

Cinta dan Barakah

Rasullah saw. melarang kita mendo’akan pengantin baru dengan do’a bahagia dan banyak anak, tetapi menyuruh kita mendo’akan agar pernikahan itu barakah. Apa istimewanya? Wallahu a’lam bishawab. Sepanjang saya tahu, di dalam pernikahan yang barakah pasti akan hadir sakinah mawaddah wa rahmah. Tetapi dalam pernikahan yang di dalamnya ada ‘ulfah (keharmonisan), belum tentu terdapat barakah. Secara sederhana barakah bermakna ziyadatul-khair. Kebaikan yang bertambah-tambah.

Apa yang mendatangkan barakah? Mari kita simak ayat berikut ini, ”Andaikata penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan bukakan untuk mereka barakah dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96).

Agar Cinta Bersemi Indah

Tetapi... setelah cinta hadir dalam pernikahan, padahal sebelumnya engkau tidak saling mengenal, maka ada yang perlu kita dan kita rawat. Apa saja yang perlu kita perhatikan? Inilah beberapa catatan yang menarik kita simak:

Bicaralah dengan Mesra

Al-Qur’an membari kita panduan berkomunikasi. Kepada publik, gunakan qaulan maysuran (berkata yang sederhana, mudah dimengerti). Kepada anak, pakailan qaulan sadidan (perkataan yang tegas, straight to the point, konsisten). Kepada orang yang keras kepala seperti Fir’aun berbicaralah dengan menyentuh (qaulan layyinan). Adapun kepada suami atau istri, Allah perintahkan kita untuk berbicara dengan qaulan ma’rufah (perkataan yang enak didengar, indah dirasa). Ini bukan soal apa yang kita bicarakan, tetapi bagaimana kita mengatakannya sebagaimana air mineral bisa bernama Aqua, bisa bernama Evian dan bisa juga bernama Qannat yang mengucapkannya saja bikin tenggorokan tersendat.

Ada Tiga Panggilan Untuknya

Rasulullah saw. memanggil istrinya, ‘Aisyah, dengan tiga panggilan. Panggilan yang berbeda mengisyaratkan suasana yang berbeda. Rasulullah saw. memanggil dengan sebutan “Ya Aisyah”, “Ya Aisy” dan “Ya Humaira”. Sebutan humaira’ (yang pipinya merah jambu) menunjukkan panggilan yang mesra. Nah, bagaimana kita memanggil istri atau suami di rumah?

Sebuah kekuatan di Telinga Kita

”Barangsiapa yang paling baik dalam mendengarkan,” kata ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, “maka dialah yang segera mendapat manfaat.”

Man ahsanal istima’, ta’ajjalal intifa’.

Diane E. Papalia & Sally Wendkos Olds menulis dalam buku Human Development bahwa anugerah terindah bagi seorang wanita setelah menikah adalah ia mendapatkan orang yang mendengar keluh-kesahnya, kisah-kisah yang tak terlalu penting untuk diceritakan tetapi baginya sangat bermakna, serta tak terkecuali omelan-omelannya. Jika Anda ingin tahu apa yang paling ampuh meredakan rasa cemburu yang berapi-api dari seorang istri, lebarkanlah telinga Anda. Rasulullah saw. memberi contoh bagaimana mendengar dapat melahirkan kekuatan yang besar.

Maknanya adalah Pengakuan dan Penghormatan

Rasulullah Saw. bersabda ,”Engkau tak mungkin dapat memenuhi kebutuhan semua orang dengan hartamu; karenanya cukupilah semua dengan wajahmu yang gembira dan watak yang baik” (HR. Al-Hakim).

Suatu ketika Sa’d bin Hisyam bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasullah Saw. mendapat pertanyaan seperti itu, ‘Aisyah balik bertanya, “Apakah engkau membaca Al-Qur’an?”

“Tentu saja, “ kata Sa’d bin Hisyam menjawab.

“Akhlaknya adalah Al-Qur’an,” kata ‘Aisyah menerangkan. Tidak puas dengan jawaban itu, Sa’d bin Hisyam meminta ‘Aisyah untuk memberi jawaban yang rinci. Tetapi ‘Aisyah menyuruh orang untuk membaca sepuluh ayat dari surat Al-Mu’minun.

Sebagaimana Sa’d bin Hisyam, kita mungkin masih sulit membayangkan akhlak Rasullah Saw. Sa’d bin Hisyam yang hidup sezaman dengan Nabi Saw. saja masih meminta Ummul Mukminin ‘Aisyah untu merinci. Padahal ia masih sempat melihat Rasullah Saw. secara langsung. Ia juga membaca Al-Qur’an. Bahkan tak sekedar membaca, kehidupan para sahabat hingga tabi’in sangat dekat dengan Al-Qur’an. Akan tetapi, dengan keadaan mereka yang seperti itu saja, jawaban “akhlaknya adalah Al-Qur’an” dirasa masih kurang jelas. Lalu bagaimana dengan kita yang amat jauh dari Al-Qur’an? Mushhaf Al-Qur’an yang kita miliki lebih banyak dan lebih indah dari milik para sahabat, tetapi hampir tidak mengenalnya. Karena itu, untuk mengetahui akhlak Nabi Saw. secara lebih sempurna, marilah kita tengok Imam Al-Hafidz Imaduddin Abul-Fida Ismai bin Katsir. Dalam tafsirnya yang terkenal, Ibnu Katsir pernah menuliskan penuturan Atha’ sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih:

“Saya, Ibnu Umar dan ‘Ubaid bin Amir pergi ke rumah ‘Aisyah r.a.. Kami pun masuk ke rumahnya. Antara kami dan dia terdapat hijab (sekat penutup), “ kata Atha’. Kemudian Atha’ menuturkan percakapan yang berlangsung di rumah ‘Aisyah:

“Hai ‘Ubaid,” kata ‘Aisyah, “ mengapa kamu tidak mengunjungiku?”

“Karena penyair mengatakan,” jawab ‘Ubaid, “Berkunjunglah dengan jarang, niscaya bertambah kecintaanmu.”

Ibnu Umar berkata, “Izinkan kami di sini sejenak dan ceritakanlah kepada kami perkara paling mempesona dari semua yang pernah engkau saksikan pada diri Nabi.”

‘Aisyah menarik nafas panjang. Kemudian dengan terisak menahan tangis, ia berkata dengan suara lirih, “Kaana kullu amrihi ‘ajaba. Ah, semua perilakunya menakjubkan bagiku.”

Masih dengan suara lirih, ‘Aisyah bercerita, “suatu malam, ketika dia tidur bersamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, dia berkata, ‘Ya ‘Aisyah izinkan aku beribadah kepada Tuhanku.’ Aku berkata, ‘Sesungguhnya aku senang merapat denganmu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadah kepada Tuahanmu.’ Dia bangkit mengambil gharaba air, lalu berwudhu. Ketika berdiri shalat, kudengar dia terisak-isak menangis hingga airmatanya membasahi janggut. Kemudian dia bersujud dan menangis hingga lantai pun basah oleh air mata. Lalu dia berbaring dan menangis hingga datanglah Bilal untuk memberitahukan datangnya waktu subuh.”

‘Aisyah melanjutkan, “Bilal berkata, ‘Ya Rasulullah, kenapa engkau menangis padahal Allah telah ampuni dosa-dosamu baik yang terdahulu maupun yang akan datang.’ ‘Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur?’ kata Rasulullah, ‘Aku menangis karena malam tadi Allah telah turunkan ayat kepadaku, ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.’ Kemudian Nabi bersabda, ‘Celaka orang yang membaca ayat ini namun tidak merenungkannya.’”

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad. Apa makna peristiwa ini? Pengharapan, pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi isteri. Uang belanja yang cukup saja tak cukup. Fasilitas saja tak bis merawat cinta. Ada yang tak bisa dibeli dengan uang, dan ia hanya bisa dibeli dengan penghormatan dan pengakuan.

No comments: